Tentang Kami
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan selama 2022. Kekerasan itu terjadi tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Secara rinci, ada 9.588 anak yang menjadi korban kekerasan seksual, kekerasan psikis (4.162), kekerasan fisik (3.746), penelantaran (1.269), tindak pidana perdagangan orang atau TPPO (219), dan eksploitasi (216). Sementara, 2.041 anak lainnya menjadi korban kekerasan dalam bentuk beragam.
Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mengungkapkan ada sebanyak 4.683 aduan masuk sepanjang 2022. Pengaduan terbanyak berasal dari klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA), yakni sebanyak 2.133 kasus. Kasus tertinggi adalah kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus.
Nahasnya, dalam catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sepanjang 2015-2020 disebutkan, sebanyak 19% kasus kekerasan seksual dan diskriminasi justru terjadi di pondok pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam. Angka itu menyebabkannya berada di urutan kedua setelah kekerasan serupa di universitas.
Guna meminimalisasi kasus tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).
Demi turut menekan angka kejahatan tersebut, Ikhbar Foundation bersama puluhan pondok pesantren dari wilayah Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Jakarta, Lampung, Banyuwangi, serta Mojokerto merasa perlu untuk merapat dan berkomitmen bersama dengan mendeklarasikan pembentukan Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) pada Jumat, 23 Juni 2023 di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jawa Barat.
Deklarasi JPPRA yang disaksikan delegasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Agama (Kemenag), dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) saat itu merupakan wujud dari komitmen tegas para pemangku kepentingan, terutama kelembagaan pesantren untuk bersama-sama mencegah kasus-kasus yang mengancam masa depan anak Indonesia dan mencoreng nama baik dunia pesantren.
JPPRA merupakan gerakan bersama yang diaktivasi oleh para pimpinan dan pengasuh pondok pesantren dengan komitmen kuat dalam pencegahan kekerasan terhadap anak, terlebih kekerasan seksual di lembaga-lembaga pendidikan dengan mengatasnamakan pesantren.
Kelahiran JPPRA yang ditandai dengan pembacaan Piagam Ketitang merupakan wujud dari kebulatan tekad kalangan pesantren untuk melawan segala bentuk tindak kekerasan terhadap anak.
Melalui JPPRA, setiap pondok pesantren yang berjejaring akan secara kompak dan bersama-sama menyatukan langkah dan gerakan berupa penerbitan pernyataan sikap, mengintensifkan kampanye pesantren ramah anak, menggelar silaturahmi nasional, seminar-seminar, penyuluhan, bahtsul masail, penerbitan buku, serta sejumlah program lain yang dibutuhkan dalam rangka menguatkan posisi pesantren sebagai lembaga terbaik dalam menempa akhlak dan masa depan generasi bangsa.[]