Pendidikan menjadi tanggung jawab mutlak yang harus dipenuhi para orang tua demi menjamin kebaikan masa depan anak-anaknya. Tidak terkecuali bagi anak-anak perempuan. Pemenuhan pendidikan, terlebih pengetahuan di bidang agama kian penting demi mewujudkan generasi yang berakhlak dan melindungi mereka dari segala potensi keburukan di dunia.
Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), Nyai Uswatun Hasanah Syauqi mengatakan, menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
“Sebagaimana sabda Rasulullah, mencari ilmu hukumnya wajib bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan,” katanya, Senin, 10 Juli 2023.
Ning Uswah, sapaan akrabnya menyebut, guna menunaikan kewajiban tersebut, maka pesantren dinilai menjadi tempat yang paling pas dalam memperoleh ilmu agama. Menurut Ning Uswah, pesantren satu-satunya lembaga pendidikan yang menjadi situs pembentukan budaya umat Islam dalam mempertahankan sanad (ketesambungan) keilmuan hingga Rasulullah Muhammad Saw.
Tiang agama
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur tersebut juga mengatakan, perempuan penting untuk menempuh pendidikan di pesantren lantaran peran dan posisinya yang memang strategis di tengah masyarakat.
Jika sudah menjadi seorang ibu, lanjut Ning Uswah, perempuan tidak hanya bisa dimaknai sebagai seseorang yang telah melahirkan anak, akan tetapi juga memiliki peran yang jauh lebih menentukan bagi masa depan karena telah menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.
“Disampaikan secara masyhur oleh para ulama bahwa perempuan merupakan tiang agama. Jika ingin suatu negara kokoh, maka berdayakan perempuan dengan memberikan mereka akses untuk menimba ilmu di pesantren. Kelak, mereka akan melahirkan generasi-generasi yang kuat fisik dan mentalnya,” katanya.
Di dalam pesantren, perempuan akan digembleng dengan ilmu agama dan adab dalam bersosial di masyarakat. “Dalam praktiknya, pesantren menjadi uji coba atau latihan hidup bermasyarakat. Pesantren adalah wadah santri dengan berbagai sifat dan karakter dari berbagai daerah dan budaya yang berbeda,” katanya.
Ramah anak dan perempuan
Meski begitu, Ning Uswah menyarankan agar tidak memasukkan anak perempuannya ke lembaga pendidikan mengatasnamakan pesantren. Praktisi fikih nisa itu menyarankan agar orang tua mempertimbangkan sejumlah hal sebelum memasukkan anaknya ke pesantren.
“Pertama, pesantren yang dibutuhkan generasi perempuan adalah pesantren yang tidak ada praktik diskriminasi di dalamnya. Sebab, pesantren merupakan wadah belajar yang heterogen, baik dari segi ekonomi dan pendidikan orang tua, perbedaan karakter, tak jarang bagi anak dengan berkebutuhan khusus, dan latar belakang suku, bahasa dan warna kulit apa pun,” katanya.
“Pesantren harus memberikan pelayanan yang sama terhadap semua potensi yang dimiliki para santrinya,” sambung Ning Uswah.
Kedua, santri perempuan membutuhkan pesantren yang berorientasi pada kepentingan terbaik. Di dalam pesantren, kata Ning Uswah, pasti memiliki tata tertib dan takzir (hukuman). “Takziran yang diberlakukan haruslah yang takdib (mendidik), bukan merendahkan apalagi merugikan perempuan,” katanya.
Ketiga, perempuan memiliki hak untuk berkembang dan melangsungkan hidup. Sejak ia berada dalam kandungan ibunya sampai terlahir ke dunia, ia berhak mendapatkan perlindungan dan tumbuh secara sempurna. Maka, menurut Ning Uswah, pesantren yang ramah terhadap pengalaman biologis dan psikis perempuan akan membantunya untuk membentuk karakter yang kuat dan kokoh sebagai perempuan.
“Selain tiga hal itu, pesantren yang dibutuhkan perempuan adalah adanya partisipasi aktif dari pihak pesantren dalam mendengarkan suara perempuan. Sebab, seseorang berhak untuk mengemukakan dan didengar pendapatnya dalam berbagai proses dan upaya terutama tentang hak mereka atau hal-hal yang memengaruhi kehidupannya sekarang maupun di masa yang akan datang,” katanya.
Intinya, kata Ning Uswah, sosok perempuan sangat membutuhkan pengayoman. Pesantren sebagai representasi Islam yang rahmatan lil alamin atau cinta damai harus mengajarkan tentang kasih sayang.
“Tidak boleh ada kekerasan di pesantren, terlebih kepada perempuan, baik kekerasan verbal, fisik, ataupun psikis,” pungkasnya.